Beranda | Artikel
Mati Bunuh Diri
Kamis, 6 Desember 2012

MATI BUNU DIRI

Pertanyaan.
Assalâmu’alaikum, apa ada dalil yang menyatakan orang yang mati bunuh diri kafir, dan apa bolèh di shalatkan. Wassalâmu’alaikum

Jawaban.
Tindakan bunuh diri diharamkan di dalam Islam, Allah berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. [an-Nisâ’/4:29]

Bahkan orang yang mati karena bunuh diri diancam dengan siksaan yang serupa di akhirat, sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung sehingga membunuh dirinya, maka di dalam neraka Jahannam dia (juga) menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung. Dia akan tinggal di dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Barangsiapa meminum racun sehingga membunuh dirinya, maka racunnya akan berada di tangannya. Dia akan meminumnya di dalam neraka Jahannam. Dia tinggal di dalam neraka Jahannam selama-selamanya. Barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, maka besinya akan berada di tangannya. Di dalam neraka Jahannam ia  akan menikam perutnya. Dia akan tinggal di dalam neraka Jahannam selama-lamanya”. [HR. Bukhâri, no. 5778; Muslim, no. 109; dari Abu Hurairah; lafazh bagi Bukhâri]

Dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang bunuh diri di atas “Dia kekal dan abadi di dalam neraka Jahannam.”, firqah Mu’tazilah dan orang-orang yang sependapat dengan mereka berdalil tentang kekalnya para pelaku maksiat di dalam neraka. Sedangkan Ahlus Sunnah bersepakat bahwa pelaku dosa besar di akhirat terserah Allah Azza wa Jalla , bisa jadi Allah Azza wa Jalla akan mengampuninya dengan kemurahan-Nya atau menyiksanya dengan keadilan-Nya, namun pasti akan keluar dari neraka. Adapun tentang lafazh di atas, maka para Ulama berpendapat :

  1. Meragukan riwayat dengan lafazh ini, karena riwayat-riwayat yang lebih shahîh tidak menyebutkannya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Tirmidzi.
  2. Bahwa ancaman di atas tertuju bagi orang yang menghalalkan bunuh diri, karena dengan menghalalkannya itu dia menjadi kafir, sedangkan orang kafir akan kekal di neraka.
  3. Hadits ini sebagai bentuk larangan yang keras, namun hakekat maknanya tidak dikehendaki.
  4. Bahwa ini merupakan balasannya, tetapi Allah Azza wa Jalla akan memaafkannya dan memberikan kemuliaan kepada orang-orang yang bertauhid dengan mengeluarkannya dari neraka dengan sebab tauhidnya.
  5. Maksud hadits itu bahwa orang tersebut kekal di neraka sampai waktu yang Allah Azza wa Jalla kehendaki.
  6.  Yang dimaksud khulûd (kekal) di sini adalah tinggal dalam masa yang lama, bukan hakekat kekal abadi.

Menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa jawaban yang paling tepat adalah jawaban ke 4, Wallâhu a’lam. [1]

Dan hadits ini dianggap sebagai dalil kekafiran pelaku bunuh diri, namun telah kita ketahui bahwa pendapat Ahlus Sunnah tidak mengkafirkannya. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa pelaku bunuh tidak kafir adalah:

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ عَمْرٍو الدَّوْسِيَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لَكَ فِي حِصْنٍ حَصِينٍ وَمَنْعَةٍ قَالَ حِصْنٌ كَانَ لِدَوْسٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبَى ذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي ذَخَرَ اللَّهُ لِلأَنْصَارِ فَلَمَّا هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ هَاجَرَ إِلَيْهِ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَهَاجَرَ مَعَهُ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَمَرِضَ فَجَزِعَ فَأَخَذَ مَشَاقِصَ لَهُ فَقَطَعَ بِهَا بَرَاجِمَهُ فَشَخَبَتْ يَدَاهُ حَتَّى مَاتَ فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فِي مَنَامِهِ فَرَآهُ وَهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ وَرَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ فَقَالَ لَهُ مَا صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ فَقَالَ غَفَرَ لِيْ بِهِجْرَتِي إِلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ قَالَ قِيْلَ لِيْ لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ فَقَصَّهَا الطُّفَيْلُ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ

Dari Jâbir bahwa Ath-Thufail bin ‘Amr ad-Dausi mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apakah anda mau berlindung di sebuah benteng yang kokoh dan kuat?” Lalu sambungnya : “Benteng itu milik suku Daus di zaman jahiliyah.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima tawaran itu karena kebaikan yang telah Allah Azza wa Jalla siapkan bagi orang-orang Anshar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin ‘Amr juga berhijrah, bersama dengan seorang laki-laki dari sukunya (Daus). Kemudian mereka tidak suka tinggal di Madinah.  Laki-laki tersebut sakit dan menjadi gelisah. Dia mengambil anak panah miliknya, lalu memotong sendi-sendi jarinya.  Kedua tangannya mengalirkan darah lalu dia  mati. Kemudian Ath-Thufail bin ‘Amr bermimpi melihat kawannya itu dengan keadaan yang baik, namun dia menutupi kedua tangannya. Maka Ath-Thufail bin ‘Amr bertanya kepadanya: “Apa yang telah dilakukan oleh Rabbmu kepadamu?”. Dia menjawab: “Dia telah mengampuniku dengan sebab hijrahku kepada nabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. Kemudian Ath-Thufail bertanya lagi: “Kenapa aku melihatmu menutupi kedua tanganmu?” Dia menjawab: ” Ada yang mengatakan kepadaku, “Kami tidak memperbaiki bagian (tubuh) mu yang telah kamu rusakkan (sendiri)” “. Kemudian Ath-Thufail menceritakan mimpinya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai Allah Azza wa Jalla, ampunilah juga kedua tangannya”. [HR. Muslim, no. 116]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat hujjah (argumen) bagi kaedah yang agung untuk Ahlus Sunnah, bahwa orang yang membunuh dirinya atau melakukan kemaksiatan lainnya dan dia mati tanpa taubat, maka dia tidak kafir. Tidak dipastikan neraka baginya, namun dia berada pada kehendak Allah Azza wa Jalla . Telah ada penjelasan dan penetapan tentang kaedah ini. Hadits ini sebagai penjelasan terhadap hadits-hadits sebelumnya yang zhâhirnya menunjukkan kekal-abadinya orang yang bunuh diri atau para pelaku dosa besar lainnya di dalam neraka. Di dalam hadits ini juga terdapat penetapan hukuman kepada sebagian pelaku maksiat, karena laki-laki tersebut dihukum pada kedua tangannya, maka di sini terdapat bantahan terhadap firqah Murji’ah yang berpendapat bahwa kemaksiatan itu tidak akan membahayakan. Wallâhu a’lam“. [Syarah Muslim, no. 116]

Kesimpulannya, orang yang mati bunuh diri jika dari kalangan kaum Muslimin, maka dia masih dihukumi sebagai orang Islam, sehingga boleh dishalatkan oleh sebagian umat Islam. Namun jika dia dari kalangan orang-orang kafir, maka sudah pasti tidak boleh dishalatkan.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009M . Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat Fathul Bâri syarah hadits  no. 1365, 5778; Syarah Muslim no. 109.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3444-mati-bunuh-diri-2.html